Di tengah tingginya persaingan mencari kerja, ternyata saat ini di Indonesia, makin banyak karyawan yang mencari tambahan penghasilan dengan bekerja sampingan alias side job.
Hasil riset Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), tercatat 8,2% pekerja Indonesia punya side job. Angka ini lebih tinggi dari estimasi nasional yang menandakan gejala side jobs cukup merata di berbagai provinsi.
Berdasarkan data Sakernas Agustus 2024, terdapat lima provinsi dengan proporsi side jobs tertinggi. Yakni, Nusa Tenggara Barat sebesar 17,1%, Nusa Tenggara Timur 16,6%, DI Yogyakarta 15,9%, Sulawesi Barat 15,1%, dan Lampung sebesar 13,6%.
Persentase ini, hampir dua kali lipat rata-rata nasional. Hal ini mengindikasikan pekerjaan utama lebih sering gagal menutup kebutuhan dasar. “Atau struktur ekonominya memanah mendorong pekerja mencari lebih dari satu sumber pendapatan,” mengutip Labor Market Brief LPEM UI yang dilansir CNBC Indonesia, Senin (15/9/2025).
Namun, pertanyaan besar yang muncul adalah, mengapa semakin banyak pekerja Indonesia yang memilih memiliki side jobs saat ini?
Memang, mencari pekerjaan sampingan atau side job adalah hal lumrah saat ini, baik untuk menambah tabungan maupun memenuhi kebutuhan gaya hidup.
Namun, Labor Market Brief LPEM UI mengingatkan bahwa banyaknya pekerja dengan side job tidak bisa dipandang sebagai trend, tetapi alarm bahwa pendapatan utama jutaan pekerja Indonesia belum mencukupi.
Data LPEM UI menunjukkan, median gaji pekerja tanpa side job sebesar Rp 2,2 juta sementara gaji utama pekerja dengan side jobs sebesar Rp 1,6 juta. Hal ini menunjukkan, pekerja terpaksa menambah beban pekerjaannya karena mereka bergaji rendah.
“Side jobs bukan sekadar pilihan atau gaya hidup, tapi mekanisme bertahan hidup, terutama bagi pekerja kepala keluarga atau breadwinner,” tulis laporan tersebut.
Berdasarkan lokasi tempat tinggal, jumlah pekerja dengan side job lebih besar di kota dibanding desa. Dengan jumlah 11,5 juta pekerja di kota dan 7,8 juta di desa. Padahal, penduduk desa lebih banyak.
Berdasarkan gender, jumlah pekerja laki-laki yang memiliki side job jauh lebih banyak. Dari jumlah 108,3 juta pekerja sekitar 14 juta atau 12,9% diantaranya memiliki pekerjaan sampingan. Sementara dari 107 juta pekerja perempuan, hanya sekitar 5,3% yang memiliki pekerjaan sampingan.
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan ketimpangan tersebut. Laki-laki lebih banyak bekerja di sektor fleksibel yang memungkinkan mereka mencari penghasilan tambahan, seperti jasa, perdagangan, atau pekerjaan fisik yang bisa digabung dengan aktivitas lain.
Sementara perempuan kerap terbebani pekerjaan domestik dan tanggung jawab rumah tangga, yang membatasi ruang untuk mencari tambahan penghasilan.
LPEM UI menilai side Jobs memiliki dua wajah berbeda. Antara pilihan dan keterpaksaan. Dari sisi positif, rata-rata hanya 12 jam per minggu (2-3 jam per hari). Waktu masih moderat dibanding jam kerja penuh waktu sehingga belum sepenuhnya mencerminkan gejala overwork. Dalam kondisi ini, side jobs bisa jadi cara positif mengoptimalkan waktu, menambah pengalaman, atau menambah penghasilan.
Dari sisi negatif, tambahan kerja di luar jam utama atau di akhir pekan jelas menambah tekanan fisik dan mental. Dalam jangka panjang, beban ini bisa mempengaruhi kesehatan, produktivitas, hingga keseimbangan hidup.
“Lebih sering lagi, side jobs muncul bukan karena pilihan, tetapi keterpaksaan. Upah utama yang tak cukup membuat jutaan pekerja menjadikannya strategi bertahan hidup,” tulisnya.
Dari sisi generasi, pekerja lebih tua juga lebih banyak melakukan pekerjaan sampingan, yakni sekitar 17,2 juta dari 153,2 juta atau 11,2%. Namun, secara persentase jumlah pekerja gen Z yang memiliki side jobs sebesar 14 juta atau 12,9% dari total 108,3 juta pekerja gen Z.
Namun, menurut LPEM UI, data ini perlu dibaca hati-hati. Gen Z kerap diasosiasikan dengan gig economy atau pekerjaan berbasis platform digital yang fleksibel, longgar, dan memungkinkan mereka mengkombinasikan beberapa sumber penghasilan sekaligus. Secara konsep, pola ini justru cocok dengan mereka. Namun metode pencatatan pekerjaan gig di survei resmi belum menangkap kondisi riil.
“Aktivitas gig economy Gen Z bisa saja masuk kategori pekerjaan utama, atau malah tak tercatat sebagai side jobs dalam survei resmi,” demikian laporan tersebut. (yan)

